Berita_HarianHasional.com, 18/05/2023. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 (empat) di dunia, membutuhkan akselerasi yang cepat bagi negara untuk memastikan penduduknya dapat mengimbangi kebutuhan talenta digital kontemporer diera “pasca post modern”, namun demikian jumlah penduduk yang besar sejatinya adalah aset besar, dengan catatan, mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada harus terus ditingkatkan untuk memenuhi kualifikasi (standar) industri.
Kita tidak perlu pesimistis dengan beranggapan bahwa jumlah penduduk besar bisa menjadi beban negara, mungkin saja benar kalau kita salah kelola, tapi mari melihat penduduk tidak semata fisik manusia, namun kita pandang sebagai “ratusan juta pikiran” dalam satu “kapal” bernama Indonesia, maka harapan kemajuan bagi bangsa akan semakin optimistis.
Bagaimana tidak, ratusan juta penduduk Indonesia jika diimbangi oleh rezim pemerintah yang visioner, tantangan sebesar apapun akan mudah teratasi bila dirumuskan oleh ratusan juta pikiran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Manusia adalah ekspresi ide, se-awam apapun manusia, ia tetap memiliki ide yang terbukti dalam banyak sejarah manusia punya aspek manfaat. Kita sering menyaksikan, dengan modal pikiran sederhana dan penuh kerja keras, masih bisa bertahan dan mampu jalani hidup dengan baik. Apalagi jika “ide” itu terus diasah maka akan banyak inisiatif-inisiatif cerdas yang dapat difungsikan untuk kemajuan umat manusia.
Yang tidak kalah penting, bangsa besar harus mampu menjaga kondusifitas dan persatuan. Karena dengan iklim yang kondusif maka apa yang telah dimulai sebagai sutau negara, dapat diselesaikan setahap demi setahap. Sebaliknya, bila suatu kawasan tidak kondusif, maka hakikatnya kita telah menggali kuburan sendiri.
Lantas, mengapa sebagai suatu bangsa perlu taransformasi digital yang cepat dan menjadi keniscayaan yang mendesak saat ini? Karena tatanan sosial saat ini telah dibentuk oleh prilaku baru secara global dan menuntut kita semua untuk menjadi bagian dari perubahan sesuai konteks saat ini. Kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh ragam perangkat kecerdasan buatan (artificial intelligence) baik dalam komunikasi maupun transaksi elektronik dengan fitur-fitur sangat canggih.
Dunia ada dalam genggaman, begitu adagium yang sering kita dengar setelah maraknya penggunaan internet dalam ponsel kita. Kita masuk pada tatanan dunia baru, suatu koneksi global tanpa dibatasi zona dan bahkan melintasi benua dalam perangkat digital. Sebentuk gaya hidup maya tapi nyata, nyata tapi maya. Terminologi dari fragmen kehidupan anomali, yang kita hadapi secara sadar dengan segala kompleksitasnya.
Dikutip dari berbagai sumber, menurut World Digital Competitiveness Ranking, Indonesia dalam tranformasi digital berada diposisi 45 dari 64 negara pada lokus survei dikawasan terbatas. Artinya masih rendah dibanding negara-negara lain. Faktornya, masih terjebak pada keterbatasan infrastruktur sehingga layanan internat belum merata.
Sedangkan dibentangan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia masih berada di ranking 5 sebagai negara pengguna internet. Selain disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, juga terkendala kondisi geografis, dan juga menyangkut problem SDM.
Untuk mewujudkan Indonesia emas sekitar 15 tahunan kedepan, Bank Dunia dan McKinsey memaparkan bahwa Indonesia butuh 9 (sembilan) juta talenta digital. Setara 600.000 orang per tahun. Sedangkan kemampuan kampus pemasok SDM unggul dibidang digital, hanya bisa menyediakan 100.000-200.000 talenta digital per tahun.
Problem yang kita hadapi bersama salah satunya adalah kultur masyarakat kita yang masih terus terjebak pada “minat baca” yang tinggi namun “daya baca” rendah. Minat baca tinggi ditandai dengan banyaknya waktu yang dihabiskan saat komen dan chating dimedsos. Sedang daya baca adalah kemampuan menghabiskan sebanyak mungkin waktu untuk membaca narasi dari literasi yang serius dan ilmiah.
Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. UNESCO merilis, bahwa budaya baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin.
Padahal membaca merupakan bagian tak terpisah dari peningkatan kapasitas diri yang dapat menjadi faktor penentu bagi daya serap Industri terhadap SDM, khusunya menyangkut person talenta digital pada aneka bidang seperti Data scientist, Cyber security, Cloud computing dan Artificial intelligence. Alhasil, dengan menguasai perangkat digitas tersebut, maka akan semakin terbuka luas untuk mendapat kesempatan kerja.
Ubaidillah, S.Sos, M.Si.
Ketua PC ISNU Sampang